Selasa, 21 Oktober 2008

GIZI KURANG MENINGKATKAN RESIKO KEMATIAN BAYI

Rendahnya status gizi ibu ketika memasuki masa kehamilan meningkatkan risiko kematian ibu saat melahirkan akibat terjadi komplikasi yang membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayi yang dikandung. Oleh karena itu, intervensi untuk memperbaiki status gizi ibu harus dilakukan ketika masih usia remaja. ”Perbaikan gizi dengan suplementasi beberapa jenis nutrisi pada ibu yang mengalami gizi kurang atau terkena anemia kurang efektif untuk mencegah komplikasi yang membahayakan jiwa ibu hamil dan bayi yang dia kandung,” kata Direktur Kesehatan Keluarga dan Komunitas Badan Kesehatan Dunia Wilayah Asia Timur dan Selatan Dini Latief, pada Konsultasi Tingkat Tinggi WHO SEARO, Kamis (16/10) di Ahmedabad, India. Di sejumlah negara di Asia Timur dan Selatan, status gizi ibu hamil, bayi baru lahir, dan anak- anak mencerminkan rendahnya status sosial dan ekonomi. Bagi kaum perempuan, kondisi ini dipengaruhi oleh faktor kemiskinan, norma budaya, dan pantangan terhadap makanan tertentu. ”Ini mengakibatkan besarnya proporsi perempuan dan anak yang mengalami malnutrisi kronis,” kata Dini. Menurut catatan WHO, beberapa negara berkembang dengan tingkat pendapatan rendah memiliki prevalensi perempuan dengan berat badan kurang yang tinggi. Di Banglades, pada tahun 2004 sebanyak 34 persen dari total jumlah perempuan memiliki berat badan kurang, sedangkan di India pada tahun 1999 memperlihatkan 36 persen dari total populasi perempuan menunjukkan berat badan kurang. Di Indonesia, dari total jumlah ibu hamil, 40 persen di antaranya terkena anemia dan 34 persen mengalami malnutrisi kronis. Adapun status gizi anak balita memperlihatkan 28 persen di antara mereka mengalami berat badan kurang dan 8,5 persen di antaranya terkena malnutrisi. ”Ini terkait dengan tingkat pendidikan, faktor sosial-ekonomi dan sosial-kultur dari ibu hamil,” ujar Direktur Kesehatan Ibu Departemen Kesehatan RI Sri Hermiyanti Yunizarman. Rendahnya status gizi ibu hamil meningkatkan risiko anemia defisiensi besi, dan berat badan bayi yang dilahirkan rendah.

Cegah Stroke Sejak Balita

MENCEGAH penyakit stroke sebaiknya dilakukan sejak usia dini bahkan saat masih balita. Peran orang tua dalam membiasakan gaya hidup sehat kepada anak-anak juga penting dalam upaya menghindari dan menekan risiko penyakit mematikan ini. Menurut dr Hardhi Pranata Sp.S. MARS dari Bagian Penelitian Pengembangan Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), kesadaran akan pentingnya upaya pencegahan sejak dini perlu ditanamkan mengingat semakin banyaknya kasus stroke menyerang kaum muda dan usia produktif di Indonesia. Fenomena ini, kata Hardhi, tidak terlepas dari masih sangat rendahnya kesadaran masyarakat dalam upaya pencegahan stroke. Stroke sebenarnya tidak asing lagi di telinga masyarakat, tetapi kesadaran untuk mencegahnya justru sangat rendah. "Kalau mau sadar akan bahaya stroke sebenarnya tidak perlu menunggu hingga usia 20 tahunan. Tapi kesadaran harus diterapkan sejak dini bahkan sejak usia balita dan ini adalah tugas dari para orang tua," ungkap Hardhi di Jakarta, Selasa (14/10). Hardhi menjelaskan, kelainan pembuluh darah yang merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit stroke bisa terjadi sejak usia 9 tahun. Kelainan ini dapat timbul akibat kebiasaan mengonsumsi makanan dengan kadar lemak tinggi, tetapi kualitas nutrisinya buruk. "Kita tahu bahwa kelainan pembuluh darah dapat terjadi sejak usia 9 tahun, di mana anak-anak sejak balita sudah dibiasakan memakan junk food yang tinggi kadar lemaknya tetapi kualitasnya jelek yang dapat menyebabkan perlemakan pada pembuluh darah. Jadi jangan dibiasakan para orang tua mengajak anak-anaknya, bahkan sejak masih balita, ke tempat-tempat makanan begitu," paparnya. Yayasan Stroke Indonesia sendiri, lanjut Hardhi, mengharapkan kesadaran akan pentingnya menerapkan gaya hidup sehat seperti menghindari makanan junkfood dapat tumbuh tak hanya di kalangan orang tua yang telah memiliki anak. Kesadaran ini sangat perlu ditumbuhkan pada pasangan usia muda yang baru menikah supaya anak-anak mereka kelak terhindar dari risiko stroke. Kasus stroke di Indonesia sendiri menurut data yang dirilis Yastroki menunjukkan kecenderungan terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 1990-an sebuah penelitian menunjukkan kasus stroke mencapai 3, 98 persen dari seluruh penduduk. Diperkirakan 500 ribu penduduk terkena serangan stroke dan sekitar 125 ribu di antaranya meninggal atau cacat seumur hidup. Setelah tahun 2000-an, kasus stroke ternyata terus melonjak. Pada 2004, hasil penelitian di beberapa rumah sakit menemukan bahwa pasien rawat inap akibat stroke berjumlah 23.636 orang sedangkan yang rawat jalan atau tidak dibawa ke rumah sakit karena tidak mampu atau jauhnya jarak dari rumah sakit ternyata jumlahnya jauh lebih besar lagi. Fakta bahwa kasus stroke terus meingkat juga telah diungkap dalam sebuah konferensi stroke internasional di Wina belum lama ini. Salah satu masalah yang mengemuka pada konferensi itu adalah fakta bahwa kasus stroke semakin merebak di kawasan Asia akibat berubahnya gaya hidup masyarakat.

ASI BIKIN RENDAH TEKANAN DARAH

ASI BIKIN RENDAH TEKANAN DARAH

SEBUAH penelitian menunjukkan, anak-anak dan remaja usia 9 hingga 15 tahun yang pada masa kecil memperoleh ASI, mempunyai tekanan darah lebih rendah dibanding mereka yang memperoleh susu formula. Menurut Dr. Debbie A. Lawlor dari University of Bristol di Inggris yang memimpin penelitian, dampak ASI ini sangat terlihat jelas. Keuntungan yang didapat anak-anak yang memperoleh ASI pada masa kecil mereka sama besarnya dengan orang dewasa yang berolahraga atau ketika melakukan pantangan tidak mengonsumsi garam untuk menurunkan tekanan darah. Penelitian itu dilaporkan pada The Archives of Disease in Childhood. Dikatakan, keuntungan-keuntungan lain yang didapat bila anak diberi ASI adalah menurunkan risiko terkena penyakit seperti diare, infeksi telinga, dan pneumonia. Penemuan yang diperoleh atas dasar penelitian terhadap 2.192 anak dan remaja dari Estonia dan Denmark itu semakin memperkuat bukti bahwa ASI dapat memberikan manfaat pada tekanan darah. Anak-anak ini menjalani uji fisik dan tes darah untuk mengukur kadar kolesterol dan gula garah. Selain obesitas, kolesterol yang tidak normal serta kadar insulin rendah, tekanan darah tinggi juga dapat mengakibatkan sebuah kondisi yang disebut sindrom metabolik, yang juga dapat menyebabkan penderitanya terkena penyakit jantung ataupun stroke. Secara umum, tim yang dipimpin Lawlor ini menemukan, anak-anak yang dibesarkan dengan ASI mempunyai tekanan darah sistolik rendah. Faktor-faktor lain yang diukur adalah berat badan, umur, dan sejarah keluarga. Dikatakan, semakin lama anak diberi ASI, semakin besar efek yang diberikan pada tekanan darah. Hubungan di antara dua aspek ini memberikan ide bahwa sesungguhnya pemberian ASI membawa pada kondisi penurunan tekanan darah. (adi) by: Kompas.com 13-10-2008